Monday, August 27, 2007

PANDANGAN STIGLITZ TERHADAP GLOBALISASI

Pandangan Stiglitz Terhadap Globalisasi

Oleh :Ninuk Mardiana Pambudy & Maria Hartiningsih

Di tulis Oleh : Zulfikar



Minggu (12/8) siang kami tiba di tempat Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, dan istrinya, Anya Schiffrin, tinggal di Ubud, Bali. Selama hampir sebulan pasangan ini tinggal di sana karena Stiglitz tengah menyelesaikan buku terbarunya mengenai perang Irak.
Kami merencanakan peluncuran pada Maret 2008, bersamaan dengan peringatan lima tahun Amerika di Irak," kata Stiglitz.
Stiglitz menerima Nobel karena ikut menciptakan cabang teori baru yang disebut ilmu-ilmu ekonomi mengenai informasi (economics of information). Stiglitz melihat kelemahan teori tradisional—pasar akan bekerja sempurna bila pemerintah tidak ikut campur tangan—berdasar asumsi bahwa informasi sempurna dan setiap orang memiliki informasi yang sama. Model ilmu ekonomi yang ikut dia kembangkan memperhitungkan ketidaksimetrisan informasi sebagai asumsi dasarnya, yaitu bahkan sedikit saja ketidaksempurnaan informasi dapat berdampak besar terhadap ekonomi.
Bukunya, Globalization and Its Discontents (2002)—terjual lebih dari satu juta kopi—dan Making Globalization Work (2006), membukakan mata banyak orang tentang bagaimana Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang berpengaruh besar pada ekonomi negara-negara berkembang ternyata demi mendorong globalisasi ekonomi tidak selalu benar dalam meresepkan kebijakan untuk banyak negara.



Pegakuan Stiglitz Bahwa beliau tidak kontroversi
Di pendopo tempat kami berbincang, Stiglitz dalam balutan kemeja batik berbincang santai dengan berselonjor di kursi panjang. Anya yang pernah menjadi wartawan dan kini mengajar program master dalam jurnalisme di Universitas Columbia, AS, menjamu kami makan siang.
Buku apa yang sedang Anda tulis?
Buku ini tentang biaya ekonomi dan manusia akibat perang Irak. Saya melakukan kajian sekitar 1,5 tahun lalu dan perkiraan saya biaya perang itu 1 triliun-2 triliun dollar AS dari pihak AS saja. Jumlah itu sangat mengejutkan karena sebuah perang dapat begitu mahal. Bahkan, pemerintah dan komisi anggaran Kongres menyadari biaya perang Irak dapat melebihi satu triliun dollar.
Apa dampaknya?
Masalahnya, ekonomi Amerika begitu besar sehingga dapat membelanjakan satu triliun dollar tanpa merasa sakit. Meski begitu, bisa Anda bayangkan apa yang dapat dilakukan dengan uang sebanyak itu. Sangat menyedihkan sebab di Amerika 50 juta orang tidak punya asuransi kesehatan dan pemerintah mengatakan tak mampu membiayai (asuransi) itu.
Pertanyaan kemudian bukanlah apakah Amerika dapat membiayai perang itu, tetapi biaya yang ditanggung masyarakat Amerika yang sangat tinggi. Bila dibandingkan dengan hasilnya, apakah rakyat Amerika merasa menjadi lebih aman, jawabannya tidak.
Belum lagi bila kita memikirkan seandainya dana itu digunakan mendorong pembangunan di berbagai belahan dunia. Kami memberi kira-kira lima miliar dollar setahun untuk Afrika, bagian termiskin di dunia, sementara biaya perang di Irak seminggu 20 miliar dollar.
Anda ingin mengatakan, aksi militer tidak sebanding dengan menciptakan perdamaian melalui pembangunan?
Benar sekali…. Amerika sebenarnya dapat menciptakan dunia yang lebih damai, lebih stabil. Dengan sebagian kecil saja dari satu triliun dollar itu untuk pembangunan sebenarnya dapat mengubah dunia. Jadi, buku baru ini berfokus pada isu politik dan ekonomi paling penting saat ini di Amerika Serikat dan dunia.
Kolonialisme baru
Di dalam Globalization and Its Discontents, Stiglitz membahas Indonesia cukup rinci, antara lain akibat dari kepatuhan Indonesia menjalankan resep IMF yang secara umum disebut "Washington Consensus".
Kebijakan itu menekankan pada pengurangan besar-besaran peran pemerintah, deregulasi, serta liberalisasi dan privatisasi secara cepat. Kelemahan Washington Consensus seperti ditulis Stiglitz dalam Making Globalization Work adalah pada kurangnya perhatian pada keadilan (equity), lapangan kerja, dan kompetisi, untuk menjalankan reformasi ekonomi atau bagaimana privatisasi dilaksanakan. Sekarang juga ada konsensus yang menyebutkan, Washington Consensus terlalu menekankan pada kenaikan PDB, bukan pada hal-hal menyangkut standar hidup, dan tidak menaruh perhatian pada keberlanjutan pertumbuhan secara ekonomi, sosial, politik, atau lingkungan. Kasus Argentina yang dipuji karena mengikuti resep Washington Consensus, tetapi ekonominya hanya cemerlang beberapa tahun untuk kemudian anjlok, semakin menguatkan pentingnya penekanan pada keberlanjutan.
Mengapa saya mendiskusikan Indonesia begitu banyak dalam buku itu (Globalization and Its Discontents) sebab Indonesia menderita lebih besar daripada banyak negara lain karena IMF.
Foto Camdesus pada tahun 1997 berdiri… (saat itu Michael Camdesus, Direktur IMF, berdiri dengan kedua tangan di dada dan kepala mendongak ke atas sementara di sebelahnya Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan IMF) menjadi foto simbolis kolonialisme atau opresi baru ekonomi IMF. Negara lain yang juga sangat menderita adalah Argentina.
Beda antara Argentina dan Indonesia menarik. Setelah krisis, Argentina mengatakan ’tidak’ pada IMF, mereka menciptakan kebijakan ekonomi yang independen berdasarkan kebutuhan sendiri dan berhasil tumbuh lebih cepat daripada negara-negara lain di dunia. Mereka menyadari kebijakan IMF salah dan memikir ulang strategi ekonomi mereka.
Indonesia mengikuti kebijakan IMF dan dampaknya Indonesia menjadi negara paling lambat pulih di Asia Timur. Sekarang ekonomi Indonesia tumbuh lima persen, tetapi tetap lebih rendah daripada yang seharusnya dapat dicapai dan lebih rendah daripada negara-negara yang menolak IMF, Washington Consensus.
Dua negara yang paling berhasil pertumbuhannya di Asia Timur adalah China dan Vietnam. Dan Vietnam paling berhasil menurunkan kemiskinan dalam hitungan persentase, dalam 15 tahun terakhir. Mereka tidak menjalankan Washington Consensus. Jadi, negara-negara itu terlibat dalam globalisasi dengan menggunakan formula mereka sendiri, bukan formula IMF atau Washington Consensus.
Apakah ini masalah kepemimpinan?
Indonesia melakukan langkah penting ketika membayar pinjaman kepada IMF. Itu artinya ketergantungan Indonesia pada IMF berkurang. Jadi, pertanyaannya, bagaimana memanfaatkan kebebasan bertindak itu.
Di Vietnam, Bank Dunia aktif membantu, tetapi menerima syarat privatisasi bukan jalan keluar untuk masalah Vietnam. Jadi, Bank Dunia menyadari Washington Consensus bukan selalu kebijakan yang tepat di Vietnam dan beberapa negara lain.
Dalam beberapa tahun terakhir ada beberapa perubahan besar dalam debat global bahkan juga di IMF. Sejumlah riset IMF memperlihatkan, liberalisasi pasar kapital membuka negara tersebut pada ketidakstabilan, seperti Indonesia. Liberalisasi pasar kapital tidak mendorong pemberian kredit untuk usaha kecil dan menengah (UKM), yang juga menjadi isu di Indonesia.
Kembali pada pertanyaan mengenai sistem baru cadangan mata uang (yang tidak bergantung pada dollar AS), karena banyak negara di Asia tidak mau lagi bergantung pada IMF, mereka mengakumulasi cadangan mata uang (dalam bentuk dollar AS) dalam jumlah besar.
Cadangan itu biasanya memberi hasil rendah karena umumnya diinvestasikan dalam saham yang dikeluarkan Pemerintah AS, walaupun ada investasi lain yang lebih menguntungkan.
Itu seperti program bantuan luar negeri untuk Amerika. Namun, Amerika tidak sepatutnya menerima bantuan luar negeri, seharusnya dia memberi bantuan luar negeri. Sistem cadangan global saat ini bukan hanya tidak adil, tetapi jelas tidak bekerja. Terjadi ketidakstabilan sangat besar dan itu sebabnya saya menulis satu bagian khusus mengenai hal tersebut di dalam Making Globalization Work.
Peran pemerintah
Saat belajar untuk program pascasarjana ekonomi, Stiglitz mulai mempertanyakan ilmu ekonomi standar yang mengajarkan pasar bekerja sempurna dan bekerjanya invisible hands dalam teori Adam Smith. "Tentu banyak asumsi yang salah dalam ilmu ekonomi standar, tetapi mana yang paling salah. Akhirnya saya menyimpulkan, asumsi mengenai informasi yang sempurna dan mulai mengembangkan gagasan berdasarkan asimetri informasi. Itu membawa pada teori baru (mengenai pengaruh asimetri informasi pada ekonomi)," papar Stiglitz.
Banyak mereka yang mengikuti teori saya berpendapat, selama krisis keuangan Asia Timur, krisis Indonesia, tahun 1997, IMF mendasarkan teori ekonomi, rekomendasi, dan nasihatnya pada teori yang ketinggalan zaman, bahwa pasar, termasuk informasi, adalah sempurna. Dan bila Anda memiliki informasi yang sempurna, mungkin liberalisasi pasar kapital adalah baik. Namun, dalam dunia nyata hal itu tidak bekerja.
Anda lihat apa yang terjadi di AS saat ini. Hal ini tidak akan terjadi bila informasi itu sempurna (semua orang memiliki informasi yang sama). Bahkan, di AS biayanya sangat besar. Diperkirakan 1,7 juta orang akan kehilangan rumah karena (kegagalan) subprime mortgage. Ini menjadi bencana sosial besar dan masalah ekonomi. Ini contoh pasar tidak bekerja dengan baik. Jika Anda akan mengambil hipotek dan lima tahun kemudian kehilangan rumah, Anda tidak mau menggadaikan rumah Anda. Namun, penjual hipotek tidak menjelaskan kepada Anda untuk hati-hati menggadaikan rumah.
Stiglitz menekankan peran pemerintah sebagai kritik atas Washington Consensus. Dalam prinsip umum, pemerintah harus berperan dalam mengatasi persoalan lingkungan, campur tangan dalam riset, pendidikan, kesehatan dasar, dan beberapa sektor lainnya.
"Globalisasi tidak otomatis menguntungkan orang miskin. Harus dipikirkan siapa yang paling terkena dampak buruk dan apa yang dapat dilakukan untuk membantu mereka. Jawaban untuk ini tergantung dari situasi setempat. Misalnya, tidak adil untuk petani beras Indonesia bersaing dengan Washington (yang menyubsidi petani beras AS). Untuk membuat arena bermain searas, bila Washington menyubsidi petaninya 50 persen, Indonesia dapat memajaki beras dari AS 50 persen."
Tempat tinggal Joseph Stiglitz dan Anya Schiffrin di Ubud tidak terlihat dari jalan besar. "Di sini tidak ada jaringan internet dan telepon, privasi kami terjaga, tetapi dengan mudah saya mengecek surat elektronik saya, mengirim dokumen melalui Fed Ex, mudah ke bandara, dan kami punya banyak teman. Kami di sini hampir sebulan dan Joe (panggilan Stiglitz) dapat menyelesaikan bukunya," papar Anya.
Anya mengatakan, dia banyak membantu Stiglitz dalam penulisan Globalization and Its Discontents (2002) dan Making Globalization Work (2006) agar mudah dipahami orang biasa. "Bukan dari sisi ekonomi karena dia ekonomnya," tambah Anya, Direktur Program Jurnalisme, Initiative for Policy Dialogue (IPD) yang didirikan dan diketuai Stiglitz. Mengenai buku terbaru Stiglitz, Anya berharap dapat kembali menjadi editornya.
Anya menaruh perhatian membantu wartawan negara berkembang meliput bidang ekonomi dan keuangan. Bersama IPD, Anya membuat seminar untuk wartawan negara berkembang. Dia juga membuat buku panduan untuk wartawan dan situs www.journalismtraining.net.
Ketika ditanya mengapa memilih menjadi "juru bicara" bagi negara berkembang dalam dua bukunya tentang globalisasi, Stiglitz mengatakan, isu terpenting baginya adalah keadilan (fairness dan equity) di negara berkembang, di Amerika Serikat, ataupun negara industri maju.
"Jika Anda obyektif melihat, situasi dunia saat ini tidak adil untuk negara berkembang. Mereka yang di pasar keuangan punya kepentingan tertentu, punya juru bicara untuk membela posisi mereka, dan itu sebabnya debat dalam skala global terdistorsi."
Stiglitz yakin globalisasi akan membawa kemakmuran, hanya saja cara globalisasi selama ini ditangani membuat ada orang tertinggal, bahkan di negara yang mendapat keuntungan dari globalisasi, seperti China dan Amerika.
Pandangannya tidak selalu sejalan dengan semua orang. "Yang terjadi, tulisan-tulisan saya salah dipahami. Saya tidak antiglobalisasi sebab globalisasi membawa banyak keuntungan bila dikelola dengan baik. Yang saya pertanyakan pertama-tama adalah banyak aturan tidak adil untuk negara berkembang, dan kedua, banyak negara tidak dapat mengelola globalisasi dengan baik dan mereka perlu mereformasi cara mengelola globalisasi.
"Saya percaya pada pasar, tetapi pasar tidak dapat menyelesaikan persoalan begitu saja dan butuh intervensi pemerintah. Bila Anda melihat sejarah, tidak ada kontroversi di sini. Pemerintah memainkan peran penting di negara yang berhasil, AS, di Asia Timur.
"Mereka yang mengkritik saya, membela kepentingan mereka dari perspektif tertentu, yaitu model teori market fundamentalism yang sudah ketinggalan dan tidak didasarkan atas teori ekonomi, tetapi lebih atas dasar ideologi. Teori ekonomi sangat jelas menggambarkan, ketika terjadi kompetisi tidak sempurna, informasi tidak sempurna, atau risiko yang tidak semua pihak mengetahui, pasar tidak bekerja. Dan, ini bukan sesuatu yang kontroversial, ini dijelaskan di semua program pascasarjana dunia. Hanya mereka dengan agenda politik tertentu melihatnya sebagai kontroversial. (NMP/MH)


Read More......