Wednesday, September 5, 2007

SISTIM MANAJEMEN SDM BERBASISKAN KOMPETENSI

Sistim Manajemen SDM Berbasiskan Kompetensi
oleh : Endang965
Republish : Zulfikar





Raymond, seorang Manajer Sumber Daya Manusia di sebuah perusahaan asing tampak serius mengamati laporan pemeriksaan psikologis dari staffnya, Susan. Laporan ini dia terima dari sebuah biro konsultasi psikologi terkenal, beberapa bulan yang lalu, sebagai bagian dari proses rekrutmen dan seleksi yang dilakukan terhadap Susan. Ia masih tidak percaya bahwa hasil pemeriksaan psikologis yang sangat baik dari Susan ternyata tidak membuatnya menghasilkan kinerja yang superior seperti yang diramalkan oleh hasil pengukuran psikologis tersebut. Raymond merasa bahwa selama ini ia telah memberikan cukup bimbingan, pelatihan dan fasilitas yang diperlukan oleh Susan agar berhasil dalam pekerjaannya. Namun kinerja yang diharapkannya tidak kunjung muncul dari Susan. Berdasarkan pengalaman tersebut, muncul pertanyaan dalam diri Raymond “Seandainya hasil pemeriksaan psikologis yang memberikan rekomendasi sangat baik tidak mampu memprediksikan keberhasilan kinerja seseorang, lalu metode apakah yang secara efektif dapat meramalkannya ?”

Masalah yang dihadapi oleh Raymond di atas pada dasarnya mirip dengan masalah yang terus-menerus dihadapi oleh United States Information Agency (USIA), saat melakukan proses seleksi calon pegawainya, pada awal tahun 1970-an. Dari kajian yang dilakukan oleh badan tersebut ternyata ditemukan bahwa nilai tinggi yang diperoleh dari hasil pengukuran psikologis, ternyata tidak memprediksikan keberhasilan dalam pekerjaan. Hal ini yang mendorong David C McClelland, Psikolog, pakar motivasi dan “achivement”, untuk memperkenalkan sebuah pengukuran kepribadian yang dapat mengenali sikap-sikap dan tingkah laku-tingkah laku yang dimiliki oleh orang-orang yang prestasinya sangat baik. (Lucia & Lepsinger, 1999). Pendekatan yang dipakai oleh David C McClelland di atas kelak akan menjadi cikal bakal pengembangan model-model kompetensi.
Pengalaman penulis dalam melakukan proses rekrutmen dan seleksi dengan menggunakan pendekatan konvensional, yaitu dengan menggunakan pengukuran psikologis yang terstandardisasi, menunjukkan bahwa pendekatan ini tidaklah selalu berhasil dengan baik dalam meramalkan keberhasilan calon pekerja pada pekerjaannya kelak. Akibatnya bisa saja calon pekerja yang diramalkan akan berhasil dengan baik dalam pekerjaannya, ternyata belum tentu menampilkan kinerja yang diharapkan ketika sudah diterima menjadi pekerja, seperti kasus Susan di atas. Sedangkan di sisi lain, calon pekerja yang hasil pengukuran psikologisnya biasa-biasa saja, ternyata tidak selalu menjadi seorang “mediocre” alias orang yang prestasinya biasa-biasa saja.
Masalah yang dihadapi Raymond, seperti halnya yang dialami penulis, juga dialami oleh banyak perusahaan. Mereka juga mengalami kesulitan dalam menentukan kapasitas yang dimiliki oleh calon pekerja atau pekerjanya yang sangat diperlukan untuk mencapai kesuksesan dalam pekerjaannya. Perilaku-perilaku yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang superior bervariasi dari satu bisnis ke bisnis lainnya, dari satu peran ke peran lainnya di dalam organisasi. Menghadap kesulitan tersebut, sudah banyak organisasi, khususnya perusahaan-perusahaan berskala besar yang telah mulai menggunakan model-model kompetensi (competency models) untuk membantu mereka mengenali ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan dan karakteristik pribadi yang sangat penting, yang dibutuhkan untuk berhasil mencapai kinerja yang superior.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai model-model kompetensi, aplikasinya dan manfaatnya bagi sistem Manajemen Sumber Daya Manusia dan cara pengembangannya di dalam perusahaan, penulis mencoba memaparkannya dalam uraian berikut ini.

Definisi
Menurut Kamus Kompetensi LOMA (1998), kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja yang superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap , pengetahuan, dan ketrampilan. Kompetensi-kompetensi akan mengarahkan tingkah laku. Sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja.

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua aspek-aspek pribadi dari seseorang pekerja itu merupakan kompetensi. Hanya aspek-aspek pribadi yang mendorong dirinya untuk mencapai kinerja yang superiorlah yang merupakan kompetensi yang dimilikinya. Selain itu, juga dapat disimpulkan bahwa kompetensi akan selalu terkait dengan kinerja yang superior.

Model kompetensi didefinisikan sebagai suatu rangkaian kompetensi yang penting bagi kinerja yang superior dari sebuah pekerjaan atau sekelompok pekerjaan. Model kompetensi ini memberikan sebuah peta yang membantu seseorang memahami cara terbaik mencapai keberhasilan dalam pekerjaan atau memahami cara mengatasi suatu situasi tertentu (LOMA,s Competency Dictionary, 1998).

Aplikasi
Menurut Kamus Kompetensi LOMA ( 1998) aplikasi dari model kompetensi pada sistem Manajemen Sumber Daya Manusia muncul pada area-area berikut :

Staffing
Strategi-strategi rekrutmen dan tes-tes yang digunakan untuk seleksi didasarkan atas kompetensi-kompetesi kritikal dari pekerjaan

Evaluasi Kinerja
Penilaian kinerja dari pekerja didasarkan atas kompetensi-kompetensi yang dikaitkan dengan target –target yang penting dari organisasi

Pelatihan
Program-program pelatihan dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki pekerja dan kompetensi yang diharapkan dimiliki pekerja

Pengembangan
Para pekerja pertama kali diukur untuk mengenali kesenjangan kompetensinya; kemudian mereka dibimbing untuk membuat rencana-rencana pengambangan untuk menutupi kesenjangan yang ada

Reward & Recognition
Para pekerja diberikan kompensasi untuk prestasi-prestasi dan tingkah laku-tingkah laku yang mencerminkan tingkat ketrampilan mereka pada kompetensi-kompetensi kunci.
Hal tersebut di atas sejalan dengan pendapat dari Michael Amstrong dalam Handbook of Human Resources Management Practice (2001) yang mengemukakan bahwa penerapan kompetensi dalam Manajemen Sumber Daya Manusia dilakukan dalam proses rekrutmen dan seleksi, assessment centres, manajemen kinerja, pengembangan SDM, dan manajemen imbal jasa.

Manfaat
Aplikasi dari model-model kompetensi di perusahaan dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan sistem Manajemen Sumber Daya Manusia yang ada di dalam perusahaan, seperti yang diungkapkan oleh Lucia dan Lepsinger ( 1999) berikut :

Seleksi

  • Memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai persyaratan-persayaratan jabatan
  • Meningkatkan kemungkinan untuk merekrut pekerja yang akan berhasil di dalam pekerjaannya.
  • Meminimalkan investasi (baik waktu dan uang) pada pekerja yang mungkin tidak memenuhi harapan perusahaan.
  • Memastikan proses wawancara yang lebih sistematis.
  • Membantu membedakan kompetensi-kompetensi yang dapat dilatihkan dan kompetensi-kompetensi yang sulit untuk dikembangkan.

Pelatihan dan Pengembangan

  • Memungkinkan pekerja untuk memusatkan perhatian pada ketrampilan, pengetahuan, dan karakteristik-karakteristik yang mempunyai dampak terbesar terhadap efektifitasnya
  • Memastikan bahwa kesempatan-kesempatan untuk melakukan pelatihan dan pengembangan berjalan selaras dengan sistem nilai dan strategi-strategi organisasi
  • Memaksimalkan efektifitas dari waktu dan dana yang digunakan untuk melakukan pelatihan dan pengembangan
  • Memberikan sebuah kerangka untuk melakukan proses bimbingan dan pemberian umpan balik yang berkelanjutan

Penilaian Kinerja

  • Memberikan pemahaman bersama tentang hal-hal yang akan dimonitor dan diukur
  • Memusatkan perhatian dan mendorong proses diskusi tentang penilaian kinerja
  • Memusatkan perhatian dalam mendapatkan informasi tentang tingkah laku pekerja dalam pekerjaan

Perencanaan Karir/suksesi

  • Menjelaskan tentang ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan dan karakteristik-karakteristik yang diperlukan oleh suatu pekerjaan/peran
  • Memberikan metode untuk mengukur kesiapan dari calon pemegang jabatan atas peran yang akan dipegangnya
  • Memusatkan perhatian dari rencana pelatihan dan pengembangan pada kompetensi-kompetensi yang belum dimiliki oleh calon pemegang jabatan
  • Memungkinkan organisasi untuk melakukan pembandingan (benchmark) diantara sejumlah karyawan potensial yang prestasinya sangat baik

Langkah-langkah Pengembangan Model Kompetensi
Dalam kamus Kompetensi dari LOMA (1998) dipaparkan langkah-langkah untuk mengembangkan model-model kompetensi. Langkah-langkah tersebut adalah:

1. Kenali sasaran-sasaran organisasi yang akan menjadi dasar bagi pengembangan model kompetensi

Untuk berhasil mencapai hasil yang baik dalam penerapan model kompetensi, maka perusahaan harus mempunyai alasan yang dari sisi bisnis memaksa perusahaan untuk menerapkan model ini. Alasan-alasan yang mengarahkan organisasi untuk menerapkan model ini perlu dikenali dengan baik. Dengan demikian ketika model ini diterapkan akan membantu perusahaan dalam mencapai sasaran-sasarannya. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam tahap ini, yaitu :

  • Definisikan strategi organisasi
    Sebuah Model kompetensi akan efektif bila diselaraskan dengan strategi, sistem nilai, dan sasaran-sasaran dari organisasi. Untuk itulah, sebelum membuat keputusan yang berkaitan dengan pengembangan model kompetensi, maka para perancang model kompetensi harus secara mendalam melakukan kajian terhadap strategi, sistem nilai, dan juga sasaran-sasaran dari perusahaan.
  • Kenali cara mengaplikasikan model kompetensi
    Pada langkah ini, para perancang model kompetensi harus melakukan evaluasi terhadap segala kemungkinan penggunaan model kompetensi di dalam organisasi dan menetapkan aplikasi-aplikasi yang mempunyai potensi terbesar, misalnya untuk proses rekrutmen dan seleksi atau pelatihan dan pengembangan. Untuk aplikasi pertama, sebaiknya dipilih aplikasi model kompetensi yang akan memenuhi kebutuhan mendasar dari organisasi, mudah dilaksanakan, dan yang dapat menunjukkan hasil yang cepat.
  • Tetapkan “ scope” dari model
    Sebuah model kompetensi dapat dikembangkan untuk sebuah pekerjaan, sekelompok pekerjaan, sebuah unit bisnis atau untuk keseluruhan organisasi. Para perancang model kompetensi harus menetapkan cakupan dari pengembangan model kompetensi di dalam organisasi. Beberapa organisasi mengembangkan “Core Competency Model” berdasarkan sasaran-sasaran organisasi yang berlaku bagi semua jabatan atau sebagian besar porsi dari pekerjaan dan kemudian menambahkan “Job Specific Competencies” pada sekelompok kecil pekerjaan

2. Merancang Rencana Untuk Membuat Model
Pada tahap ini, para perancang model kompetensi akan mengambil langkah-langkah awal untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi yang akan dimasukkan dalam model yang akan diaplikasikan di dalam organisasi.

Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  • Menentukan pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam proses pengembangan model
    Melibatkan orang-orang yang tepat dalam mengembangkan model merupakan sesuatu hal yang sangat penting. Pada umumnya orang-orang yang membantu pengembangan model adalah mereka-mereka yang pada akhirnya menggunakan model kompetensi dengan sukses. Pertimbangkanlah untuk melibatkan pihak-pihak berikut ini dalam proses pengembangan model kompetensi di perusahaan: pimpinan puncak perusahaan, para manajer yang terkait , para pemegang jabatan yang mempunyai prestasi yang sangat baik, staf Departemen SDM, dan ahli-ahli kompetensi.
  • Memilih pendekatan yang tepat untuk mengenali kompetensi-kompetensi kritikal
    Ada beberapa pendekatan atau metode yang dapat dipakai untuk mengenali Core Competencies atau Job Specific Competencies.
  • Untuk mengenali core competencies, metode yang paling efektif adalah dengan melakukan pertemuan dengan para pimpinan puncak perusahaan. Dalam pertemuan ini terutama dibahas secara mendalam tantangan-tantangan yang dihadapi organisasi, misi, dan juga sasaran-sasaran organisasi dan kompetensi-kompetensi inti yang diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan, untuk mencapai misi dan sasaran-sasaran tersebut.
  • Untuk mengenali job specific competencies, dapat digunakan beberapa metode seperti : Focus Group Discussion dan survey dengan para job expert atau Behavioral Event Interview dengan para pemegang jababan , baik yang prestasinya sedang-sedang saja, maupun yang prestasinya superior.


3. Melakukan Pengumpulan Data
Setelah menetapkan pihak-pihak yang akan terlibat dalam pengembangan model kompetensi, sumber data atau informasi dan metode pengumpulan data, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh para perancang model kompetensi adalah mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan Core Competencies (kompetensi inti) dan Job Specific Competencies (kompetensi khusus untuk pekerjaan tertentu).

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengumpulan adalah sebagai berikut :

  • Mengidentifikasi Core Competencies bersama para pimpinan puncak perusahaan
    Sebelum memulai pertemuan dengan para pimpinan puncak perusahaan (atau orang-orang yang mereka nominasikan), sebaiknya para perancang model kompetensi memberikan informasi yang tepat mengenai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dari pertemuan, dan pihak yang memfasilitasi pertemuan. Agenda yang dibicarakan dalam pertemuan sebaiknya mencakup hal-hal berikut ini:
  1. Proses yang akan dilalui oleh para pimpinan puncak perusahaan dalam mengenali Core Competencies, cara pengenalan job specific competencies oleh job expert, dan kaitan penggunaan Job Specific Competencies dan Core Competencies.
  2. Keputusan-keputusan tentang jenis-jenis jabatan yang harus memiliki core competencies (mis : semua pekerjaan di bawah level manajemen) dan cara aplikasi model kompetensi (mis : pengembangan karir, pelatihan, dsb-nya).
  3. Kaitan antara Core Competencies dan tantangan-tantangan , misi, dan sasaran-sasaran organisasi
  4. Konsensus tentang rangkaian Core Competencies yang akan diaplikasikan di perusahaan dan dukungan yang diperlukan untuk menerapkannya.
  5. Kenali Job Specific Competencies melalui job expert
  6. Focus Group Discussion (FGD). Dalam proses ini data atau informasi yang luas mengenai tantangan-tantangan dan persyaratan-persyaratan jabatan dikumpulkan melalui proses diskusi yang terstruktur dengan para job expert. Dari hasil FGD ini, maka kompetensi-kompetensi yang secara jelas tidak kritikal untuk pekerjaan dapat dihilangkan lebih awal sebelum diproses lebih lanjut. Alternatif yang lain, munculnya tambahan-tambahan kompetensi, khususnya kompetensi yang sifatnya teknis.
  7. Survey. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion, sebuah survey dapat dirancang untuk disebarkan kepada sejumlah besar job expert. Isi dari survey adalah kompetensi-komptensi yang dipilih di dalam FGD. Hasil dari survey kemudian disimpulkan dan dianggap sebagai persepsi dari para pekerja tentang kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan bagi pekerjaan yang sedang dinilai.
  8. Behavioral Event Interview (BEI). Proses pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam dengan sejumlah pemegang jabatan yang mempunyai prestasi kerja rata-rata dan superior. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai cara mereka menangani situasi-situasi kritis di dalam pekerjaan mereka. Mengingat pendekatan ini memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup besar, maka sebaiknya digunakan hanya bila pekerjaan yang akan dibuat model kompetensinya relatif sedikit, dan organisasi dapat memperoleh interviewer yang terlatih.

4. Menganalisis Data dan Membuat Kesimpulan
Untuk melakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh dari survey, maka para perancang model kompetensi perlu melakukan langkah-langkah berikut ini:

  • Hitunglah respon-respon yang masuk dari masing-masing kelompok pekerjaan yang model kompetensinya akan dibuat secara terpisah
  • Buatlah nilai rata-rata, nilai minimum, dan nilai maksimum dari tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang diperlukan dari masing-masing kompetensi
  • Buatlah urutan tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang dibutuhkan dari masing-masing kompetensi dari yang paling tinggi hingga paling rendah
  • Buatlah kesimpulan dari hasil analisis tersebut di atas, dalam sebuah format yang dapat dipresentasikan kepada para job expert, sebagai bahan kajian dan diskusi. Pastikan bahwa dalam kesimpulan tercakup hal-hal berikut:
  1. Hitunglah respon-respon yang masuk dari masing-masing kelompok pekerjaan yang model kompetensinya akan dibuat secara terpisah
  2. Buatlah nilai rata-rata, nilai minimum, dan nilai maksimum dari tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang diperlukan dari masing-masing kompetensi
  3. Buatlah urutan tingkat kepentingan dan tingkat ketrampilan yang dibutuhkan dari masing-masing kompetensi mulai dari yang paling tinggi hingga paling rendah

5. Mendiskusikan dan Memfinalisasikan Model Kompetensi

Pada tahap ini langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

  • Presentasi
    Presentasikan hasil survey kepada para pengambil keputusan penting di dalam organisasi. Para pengambil keputusan penting ini adalah meliputi orang-orang yang tersebut di bawah ini :
  1. Para pimpinan puncak perusahaan
  2. Manajer dan staf departemen SDM yang akan mengaplikasikan model kompetensi ini
  3. Para manajer yang akan menjadi pengguna model kompetensi ini
  4. Mencapai kesepakatan atas bentuk model
    Sasaran dari proses ini adalah untuk mencapai konsensus mengenai sebuah model bersama yang aplikatif dan didukung oleh setiap orang. Semua perbedaan substansial yang muncul harus didiskusikan secara mendalam dan diselesaikan, bila semuanya memungkinkan.
  5. Membatasi jumlah kompetensi bagi setiap model
    Untuk setiap model jumlah kompetensi yang sebaiknya ada adalah antara 8-10 kompetensi. Besar-kecilnya jumlah akan tergantung juga pada kompleksitas pekerjaan. Semakin kompleks pekerjaan, umumnya memerlukan kompetensi yang lebih banyak.

Kesimpulan
Penerapan model-model kompetensi dalam sistem Manajemen Sumber Daya Manusia saat ini sudah menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat lagi dihindari oleh organisasi. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa dengan penerapan model-model kompetensi ini akan dapat memberikan nilai tambah yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa aplikasi model-model ini.
Agar penerapan model-model kompetensi di dalam organisasi dapat memberikan nilai kompetitif, maka dalam proses pengembangannya harus direncanakan dengan baik dan harus selaras dengan misi, strategi, tantangan-tantangan, maupun sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi. Selain itu demi menjaga agar penerapan model-model kompetensi dapat berjalan secara efektif, maka sebaiknya dipilih aplikasi model kompetensi yang akan memenuhi kebutuhan mendasar dari organisasi, mudah dilaksanakan, dan dapat menunjukkan hasil yang cepat. Selamat mencoba dan semoga berguna untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan tenaga SDM kita. (jp)


Read More......

Tuesday, September 4, 2007

ATASAN IDAMAN


Atasan Idaman
Oleh :sjafri mangkuprawira (Guru Besar di FEM IPB)
di Publish : Zulfikar









Apakah anda seorang atasan? Jika ya berarti anda memiliki otoritas dan kekuatan tertentu untuk memimpin para subordinasi (bawahan) anda. Bisa jadi anda sebagai CEO, manajer, dan mandor dari suatu perusahaan, atau ketua partai politik. Dalam menghadapi subordinasi apakah anda selama ini banyak mengeluh tentang perilaku mereka terhadap anda dan dalam efektifitas pekerjaan? Dan bingung menghadapinya?

Nah cobalah pertanyaan berikut anda jawab. Sebagai atasan apakah anda dihormati subordinasi? Atau bahkan sebaliknya, ditakuti? Apakah kehadiran anda dibutuhkan karyawan ataukah malah “dicuekin”? Apakah anda berintegrasi dengan subordinasi (inklusif) ataukah eksklusif? Apakah anda sering menghargai upaya dan karya subordinasi secara eksplisit ataukah sangat jarang? Apakah anda merasa senang berada di tengah-tengah para subordinasi? Apakah anda selama ini memahami dan memiliki toleransi tentang kondisi pribadi individu dan keluarga subordinasi? Tidak tertutup kemungkinan ada pertanyaan di lingkungan kerja anda “who’s the boss?”.Jika selama ini anda merasa belum menjadi atasan yang baik, lalu apa dan bagaimana sebaiknya yang perlu anda perbuat?

Karena atasan pada dasarnya sebagai pemimpin maka anda dituntut menjadi orang terdepan di lingkungan subordinasi untuk menjadi teladan dalam berperilaku baik. Berikut beberapa langkah strategis yang anda dapat lakukan:

  • Memahami keunikan karakter subordinasi sebagai sumberdaya manusia yang memiliki emosi, intuisi, dan kepribadian aktif serta permasalahan masing-masing.Mengetahui tentang subordinasi dengan baik berarti anda memahami kekuatan anda. Implikasinya dalam mengatasi persoalan individu tidaklah harus dengan pendekatan seragam. Selain itu perlu menghindari mengkritik subordinasi di hadapan umum agar tidak timbul reaksi emosi subordinasi yang negatif.
  • Membangun suasana perubahan inovatif yang bersinambung berbasis kebersamaan, saling bergantung, dan saling menghargai dalam suatu tim kerja yang efektif. Karena itu diperlukan pendelegasian wewenang, kepercayaan, dan pengembangan mutu SDM pada subordinasi secara proporsional.Anda perlu menghargai subordinasi kalau dia telah melakukan apapun yang bermanfaat bagi organisasi. Sebaliknya anda perlu menegur dan memberi petunjuk kepada subordinasi kalau dia berbuat keliru.
  • Menghindari timbulnya kesan dari subordinasi bahwa anda adalah manusia super yang mampu menangani semua persoalan pekerjaan.Dan jangan sampai pula terdapat kesan anda adalah orang yang selalu paling benar. Karena itu saling bertukar pendapat dengan subordinasi perlu dikondisikan. Tidak harus merasa harga diri anda turun kalau anda meminta pendapat pada subordinasi. Implikasinya anda harus siap pula menerima masukan bahkan kritikan dari subordinasi.
  • Memberi perintah tanpa subordinasi merasakan sebagai paksaan. Intinya setiap perintah harus jelas (tidak multitafsir) dan bernada ajakan untuk memikirkan apa yang harus dikerjakan subordinasi dengan baik. Anda juga harus membuka peluang untuk menjawab pertanyaan subordinasi kalau isi perintah dinilai masih tidak jelas atau bahkan memberatkan subordinasi.
  • Bersikaplah adil atau tidak memihak kalau di antara subordinasi ada yang konflik. Pelajarilah inti masalah dari konflik. Sejauh dapat diselesaikan oleh mereka sendiri, anda tidak perlu melakukan intervensi langsung.


Read More......

PERANG SDM ANTARA MIKROSOFT & GOOGLE

Perang SDM Antara Mikrosoft & Google
Dr. Kai Fu Lee, pakar Microsoft yang membelot ke Google, menulis persamaan matematika tentang alasannya membelot. “Muda + Kebebasan + Keterbukaan + Model Baru + Manfaat Bagi Masyarakat Umum + Kepercayaan = Google.”

Oleh Taufik Salman
Republish : Zulfikar, ST




KETIKA Bill Gates sukses dengan sistem operasi Microsoft Windows-nya, seluruh dunia berdecak kagum. Gates telah melampaui apa yang belum pernah dicapai oleh perusahaan piranti lunak komputer di dunia. Sistem operasi Windows menggeser DOS, membuat orang dengan latar belakang keahlian apa pun dengan mudah dapat menjalankan komputer pribadi mereka. Ikon jendela Windows yang dapat diklik membuat orang merasa senang, dan sangat terbantu, dalam menjalankan program-program yang rumit. Microsoft pun menjadi impian bagi para ahli-ahli matematika maupun sarjana komputer yang berharap bisa mengambil bagian dalam sejarah kesuksesan itu, menjadi karyawan Microsoft!

Dari sisi bisnis, itu berarti Microsoft adalah mesin pencetak uang. Terbukti, hingga 18 Agustus 2005, nilai pasar saham Microsoft sebesar 287 Miliar dolar AS. Gates berhasil menempatkan perusahaannya menduduki tangga puncak Amerika Serikat, mengalahkan Wal-Mart yang berada pada urutan kedua dengan nilai saham 197 Miliar dolar AS, disusul Time Warner (85,9 Miliar dolar AS), lalu Google (79,6 Miliar dolar AS).

Namun, seperti kata pepatah, di atas langit masih ada langit. Abad internet membuat Microsoft mengalami masa stagnasi. Kekuasaannya mulai terancam. Siapa nyana perusahaan yang mengancam kedigdayaan Microsoft adalah Google, sebuah perusahaan yang belum 10 tahun usianya, yang didirikan pada 7 September 1998 oleh dua anak muda jago matematika dan komputer bernama Sergey Brin dan Larry Page.
Memang, dari segi produk, maupun pangsa pasar, Microsoft maupun Google berada dalam jalur persaingan bisnis yang berbeda. Kekuatan bisnis dan teknologi dari kedua perusahaan tersebut pun berbeda. Namun sesungguhnya keduanya sedang berada dalam medan tempur yang sama, bersaing merekrut orang-orang tercerdas di dunia. David A.Vise seorang peraih hadiah Pulitzer yang mengamati perkembangan Google, dalam bukunya The Google Story mengatakan hal tersebut.

Pertarungan yang sesungguhnya diantara Microsoft dengan Google, kata Vise, adalah dalam hal merekrut dan mempertahankan orang-orang paling cerdas dari seluruh dunia. “Inilah variabel pokok yang akan menentukan perusahaan mana memiliki kemampuan paling dahsyat untuk mengidentifikasikan dan memecahkan masalah-masalah yang paling diminati dan paling penting di Abad Internet,” ujar wartawan The Washington Post tersebut.

Faktanya, memang terjadi perpindahan orang-orang Microsoft ke Google yang tak bisa dibendung oleh Gates, sejak tahun 2005 lalu. Meskipun Microsoft membentuk sebuah komite khusus di dalam perusahaan itu untuk membendung perpindahan ahli-ahli mereka ke Google, namun komite yang bertugas menyusun laporan “The Google Challenge” itu tetap saja tak berhasil.

“Ribuan berkas lamaran mengalir dalam sehari ke perusahaan mesin pencari ini (Google –red), sedang Microsoft berkutat mempertahankan orang-orang terbaiknya, bahkan sampai menawarkan uang dan kemudahan lebih banyak,” ungkap Vise.

Pada saat Microsoft berjuang keras mempertahankan pakar-pakar terbaik mereka, Google justru merekrut banyak ahli bergelar Ph.D dari universitas-universitas unggulan di AS. Bahkan, Google merekrut sarjana-sarjana dari University of Washington yang notabene adalah universitas yang banyak menerima sumbangan finansial dari Bill Gates.

Tak ayal, Steve Ballmer CEO Microsoft sampai-sampai murka dengan agresivitas Google dalam merekrut orang-orang terbaik di dunia komputer. “Saya harus bisa membasmi Google sampai ke akarnya,” ketus Ballmer.

Namun, ancaman petinggi Microsoft itu tetap tak bisa membendung Google. Hingga musim panas tahun lalu, total karyawan Google sebanyak 4.183 orang, atau meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada tahun itu, dalam waktu tiga bulan, Google pernah merekrut 700 karyawan baru, suatu rekor yang belum pernah terjadi sebelumnya. Google juga membuka cabang baru di Swedia, Meksiko, dan Brasil, serta mempekerjakan orang di lebih dari 20 negara untuk mendukung upaya mereka menandingi Microsoft dalam urusan memperkuat basis sumber daya manusia.

Dr. Kai-Fu Lee merupakan contoh yang paling menampar muka Bill Gates dalam kasus rekrutmen ala Google tersebut. Tahun 1998, saat Google didirikan, Kai-Fu sudah mulai bekerja untuk Microsoft. Ia bertugas membuat Microsoft Research Asia di Beijing, China. Karena prestasinya yang hebat, dua tahun setelah itu Kai-Fu ditarik ke kantor pusat Microsoft di AS. Di sana tugas utamanya menyusun strategi. Kai-Fu juga sering dipanggil Bill Gates untuk membincangkan soal Google dan teknologi mesin pencarian. Tak heran bila dia dibayar 1 juta dolar AS pada tahun 2004.

Nah, pada tahun 2005, terjadilah “bedol kantor” besar-besaran dari Microsoft ke Google. Salah satu tenaga ahli yang ikut dalam rombongan tersebut, adalah Kai-Fu. Ia menjadi musibah bagi Microsoft, namun berkah bagi Google. Kai-Fu yang pada tahun 2004 telah menandatangani kontrak setia selama setahun ke depan dengan Microsoft, yakni ikrar tidak akan pindah ke perusahaan pesaing Bill Gates, tiba-tiba mengundurkan diri untuk bergabung dengan Google.

Tak ayal, para pejabat Microsoft murka. Mulai dari Senior Vice President Microsoft Rick Rashid, CEO Steve Ballmer, hingga Bill Gates sang pemilik perusahaan, mengutuk Kai-Fu.

“Kai-Fu, Steve sudah pasti akan menuntut Anda dan Google atas kejadian ini. Ia telah mengincar situasi macam ini…Kami perlu melakukannya untuk menghentikan Google,” ancam Gates kepada Kai-Fu, seperti ditulis David A.Vise dalam The Google Story.

Ancaman Bill Gates tersebut tak menyurutkan langkah Kai-Fu. Dia memilih Google. Perang terbuka Microsoft vs Google pun dimulai. Kasus itu kemudian dibawa ke pengadilan. Microsoft menggugat Google. Dalam dakwaannya, Microsoft mengatakan Kai-Fu tidak tahu malu melanggar perjanjian, membelot, membocorkan rencana strategis Microsoft. Lalu Google disebut sebagai perusahaan amatiran yang kurang berpikir panjang, tanpa rasa hormat kepada hukum, termasuk dalam hal surat perjanjian kerja.

Pihak Google membantah dakwaan tersebut. “Perusahaan ini (Microsoft –red) berusaha merusak nama baik Kai-Fu Lee tanpa bukti. Pengajuan perkara ini hanya sebuah acara unjuk kekuasaan. Pada dasarnya, eksekutif Microsoft telah mengaku kepada Lee bahwa tujuan mereka yang sesungguhnya adalah menakut-nakuti karyawan Microsoft lainnya agar tetap bekerja di perusahaan itu...,” balas pengacara Google, seraya menegaskan bahwa Kai-Fu bukan dipekerjakan Google sebagai pakar mesin pencari.

Untuk sementara, Hakim Negara Bagian Washington memenangkan Microsoft. Diputuskan bahwa Kai-Fu dilarang terlibat dalam pekerjaan yang terkait dengan mesin pencarian atau rencana Google untuk China. Keputusan tersebut ditolak Google. Mereka naik banding.


**


APA ALASAN Kai-Fu menempuh resiko hukum, membelot dari Microsoft ke Google? Dalam sebuah website berbahasa China, Kai-Fu menjawabnya dengan sebuah persamaan matematika. “Muda + Kebebasan + Keterbukaan + Model Baru + Manfaat Bagi Masyarakat Umum + Kepercayaan = Google,” tulis Kai-Fu.

Memang, dengan bayaran 1 juta dolar AS dari Microsoft, mustahil rasanya bagi dia untuk pindah kerja ke Google hanya karena gagasan untuk mendapat penghasilan yang lebih besar. Dr.Kai-Fu Lee, tampaknya, terpikat pada budaya perusahaan yang dibangun di Google, sebuah budaya yang dibangun dari budaya penelitian ilmiah, debat akademis, dari civitas akademik di Universitas Stanford AS.

Para pendiri Google, The Google Guys –Larry Page dan Sergey Brin— sejak awal merancang mesin pencarian yang kini digunakan pengguna internet di seluruh dunia itu, memang bukan untuk tujuan mencetak uang. Rajeev Motwani, seorang guru besar Stanford berusia 30 tahun, yang mengikuti sepak terjang Larry Page dan Sergey Brin memberikan kesaksian soal itu.

”Mereka tidak berancang-ancang untuk membangun sebuah perusahaan, tapi mereka serius ketika berusaha menciptakan cara pencarian yang lebih baik,” kata Motwani.

Google dimulai dari gagasan Larry, mahasiswa Ph.D ilmu komputer di Universitas Stanford, soal PageRank, atau sistem pemeringkatan untuk mengindeks data atau informasi yang dicari pengguna internet saat mereka menggunakan mesin pencarian. PageRank adalah “ruhnya” mesin pencarian Google.

Gagasan tersebut ditemukan di tengah jalan, saat Larry mengerjakan sebuah proyek penelitian lain, Digital Libraries Project, di Stanford pada tahun 1996. Proyek perpustakaan digital itu dikerjakan di gedung perkuliahan yang didanai oleh Bill Gates. Proyek itu mengharuskan Larry menjelajahi semua halaman Web yang ada di internet, dengan menggunakan mesin pencarian waktu itu, yang kita juga pernah menggunakannya, yakni Alta Vista, mesin pencarian generasi pertama.

Namun, seperti halnya kita, Larry juga tak begitu terbantu oleh mesin pencarian Alta Vista. Dia mendapati bahwa apa yang dihasilkan dari mesin pencarian itu hanyalah berupa informasi mengenai daftar website yang berhubungan dengan informasi yang dia cari. Seringkali pula, yang dimunculkan adalah informasi yang tidak kita cari, melainkan iklan. Artinya, dengan mesin pencarian ”primitif” itu, Larry banyak menemukan ”sampah” informasi. Akan tetapi di sisi lain, hasil pencarian Alta Vista memberikan informasi lain yang disebut “links”, yakni, daftar informasi yang wujudnya masih belum pasti, alias, pengguna masih perlu mengklik lagi “links” tersebut untuk mengetahui apa isinya.

Larry terpukau pada “links”. Dipikirkan olehnya, bagaimana itu dapat bekerja lebih baik. ”Larry Page ingin menggali lebih jauh ke dalam links guna mengetahui kemungkinan pemanfaatan mereka selanjutnya,” kata Hector Garcia Molina, seorang dosen pembimbing Larry. Namun, untuk mewujudkan keinginan tersebut, Larry harus men-download seluruh World Wide Web yang ada di dunia, disimpan ke dalam komputernya! Sesuatu yang jelas tak mungkin dikerjakan dalam waktu satu-dua malam, dan jelas tak cukup hanya dengan satu buah komputer.

”Siapa pun yang mendengar rencana (Larry) ini akan geleng-geleng kepala,” tambah Molina. Tapi, Larry berkata lain. Dia bertekad untuk melakukannya, tak peduli betapa mustahilnya pekerjaan yang akan menjadi bahan penelitiannya itu. Sebab, ada pandangan visioner serupa yang dikemukakan seorang ilmuwan komputer Inggris Tim Berners Lee, bahwa sebuah klik pada serangkaian kata ber-highlight akan mengantar para pengguna internet yang haus informasi dari dokumen satu ke dokumen lain. Sebab, Web secara keseluruhan sama dengan Links.

Tekad tersebut didukung oleh Sergey Brin, rekan debatnya yang paling kental, seorang anak muda yang sama cerdasnya dengan Larry di Stanford. Juga, didukung Motwani, dosen pembimbingnya, guru besar berusia 30 tahun itu. Tapi, setelah bekerja berbulan-bulan, ternyata men-download seluruh halaman website itu menyita waktu lebih lama dari apa yang dia bayangkan. Selain itu, juga menghabiskan banyak komputer untuk menyimpan datanya.
Meski demikian, proyek “menaklukkan” seluruh halaman Web di dunia internet ini memikat Brin yang jago matematika dan pemrograman. Dia bergabung dengan Larry yang biasanya hanya menjadi teman berdiskusi itu, untuk mengerjakan proyek baru Larry.

Larry berteori sederhana, “menghitung jumlah Link yang menunjuk suatu website merupakan suatu cara untuk memeringkatkan popularitas situs bersangkutan.” Link-link itu mengingatkan Larry seperti sebuah kutipan yang sering dipakai dalam sebuah buku, biasanya dalam catatan kaki atau catatan akhir. Makin sering dirujuk, dikutip, maka kutipan itu maka semakin tinggi peringkatnya, menurut Larry.

”Rujukan itu penting. Ternyata, karya tulis para pemenang Nobel itu umumnya telah dirujuk oleh sekitar 10.000 penulis makalah lain,” kata Larry. Atau, dengan kata lain, sebuah karya ilmiah yang sering dikutip, mengandung arti bahwa, karya itu penting. Sebab, banyak orang lain merasa perlu menyebutkannya.

Prinsip tersebut, lanjut dia, berlaku pula untuk halaman website. Jadi, tambahnya, setiap link itu tidak diciptakan sama. Ada yang lebih penting dari yang lain. Maka, situs-situs penting seperti Yahoo peringkatnya lebih penting dari yang lain, sebab Yahoo sering diklik orang. Teori pemeringkatan link ini oleh Larry diberi nama PageRank. Begitulah, proses penciptaan ”ruh” Google.

Para dosen Larry dan Brin memberitahu, bahwa konsep PageRank ini dapat dijadikan tesis Ph.D mereka. Temuan mereka bermanfaat bagi semua orang yang sedang browsing internet untuk menemukan informasi-informasi spesisifk yang dicari. Mesin pencari dengan konsep PageRank itu kemudian diberi nama BackRub, sebelum akhirnya menjadi Google.

Asal usul nama Google cukup unik, sebelum dipatenkan menjadi sebuah merek dagang. Itu merupakan sebuah kesalahan ketik dari lafal Googol dalam Googolplex yang berarti ”bilangan yang besar sekali”. Namun, karena sudah kadung didaftarkan sebagai google.com, kesalahan itu justru menjadi berkah karena mudah diingat orang. Bahkan, kabarnya saat ini kata google sudah menjadi kata kerja di sejumlah bahasa, termasuk bahasa Inggris.

Google kemudian menjadi sebuah perusahaan pada tahun 1998, dua tahun setelah Larry dan Brin berjuang keras menyusun dan menganalisa links di setiap halaman website. Di sinilah letaknya perbedaan Google dengan perusahaan-perusahaan dotcom lainnya. Sementara perusahaan dotcom berpikir untuk mendapatkan uang terlebih dahulu sebelum membuat suatu produk, Google melakukan sebaliknya. Setelah dua tahun menghabiskan banyak komputer, menganalisa setiap links, halaman web, dan menguras habis isi kantong mereka, barulah terpikirkan oleh Larry dan Brin untuk menjual mesin pencarian Google itu kepada investor.

Dalam fase mencari investor itu pun tidak mudah bagi Google Guys. Mereka pernah menawarkannya kepada pendiri Yahoo, namun ditolak mentah-mentah, dengan alasan perbedaan visi. Yahoo menginginkan orang berlama-lama nongkrong di website mereka, mengklik semua fasilitas dan informasi yang disediakan Yahoo; sementara Google hanya sebuah mesin pencari yang membuat orang justru akan cepat meninggalkannya dan pergi ke situs lain yang mereka cari. Lagipula, perusahaan dotcom yang menyediakan mesin pencarian, sebelumnya, sudah banyak yang bangkrut.

Larry dan Brin juga pernah menawarkan kemungkinan merger dengan Alta Vista, namun ditolak dengan alasan perusahaan induk Alta Vista, Digital Equipment Corp, tidak suka bergantung pada orang dari luar perusahaan. Mereka juga menawarkan kepada perusahaan-perusahaan modal ventura di bidang komputer, namun hasilnya sama, ditolak! Penolakan-penolakan itu membuat kedua anak muda ini nyaris frustrasi.

Setelah mereka berkenalan dengan Andy Bechtolsheim, biang komputer dan investor legendaris dalam sukses sejumlah perusahaan baru, barulah semangat Google Guys meningkat lagi. Pasalnya, tanpa berlama-lama berdebat, Andy langsung menulis cek sebesar 100 ribu dolar AS untuk modal mereka.

”Di kepala saya pada waktu itu, saya hanya membayangkan mereka mungkin bisa membuat jutaan orang menggunakan mesin pencari mereka, memungut uang dari mereka, dan hasilnya berlimpah. Saya tidak tahu akan seberapa besar proyek mereka pada waktu itu. Tak ada yang tahu,” kata Bechtolsheim.

Dari modal pinjaman Bechtolsteim itu mereka kemudian, pada 7 September 1998, membentuk Google Corp. dan menghimpun dana mencapai 1 juta dolar AS untuk mewujudkan impian, menambah jumlah komputer penyimpan data halaman web. Konsekuensinya, mereka berdua cuti dari Stanford, dan semakin melupakan cita-cita orang tua mereka agar meraih gelar Ph.D.
Setahun kemudian pinjaman yang diperoleh dari Bechtolsteim itu habis, dan mereka masih belum memikirkan soal komersialisasi Google. Larry dan Brin masih terus berkutat pada penyempurnaan mesin pencari ciptaan mereka. Dan mereka menikmatinya, sementara orang-orang bisnis dotcom menganggap itu sia-sia.

Lalu, dimulailah era baru Google Guys. Dua juragan investasi yang saling bersaing dari Silicon Valley, yakni Michael Moritz dari Sequoa Capital dan John Doer dari Kleiner Perkins, berhasil mereka yakinkan untuk menyuntik modal baru. Dengan proses yang tak terlalu lama, kedua orang yang berkompetisi itu berhasil disatukan oleh Google Guys dimana masing-masing menyuntik 12,5 juta dolar AS ke perusahaan baru ini. Selanjutnya, atas desakan kedua investor yang telah menyuntik 25 Juta dolar AS tersebut, Google Guys merekrut seorang CEO bernama Eric Schmidt, untuk memikirkan bagaimana perusahaan mencetak uang dari mesin pencari Google.

Sementara Eric bekerja keras memikirkan bisnis Google, Larry dan Brin terus menerus melakukan inovasi, merekrut lulusan terbaik dari universitas-universitas ternama, dan membiarkan orang-orang cerdas tersebut bekerja melakukan penelitian yang mereka minati. Di Google, orang-orang pintar tersebut bekerja dalam tim-tim kecil yang terdiri dari 2-3 orang, dan diberi kebebasan penuh untuk meneliti dan menganalisa apapun, dengan berbasis pada ilmu pengetahuan, bukan bisnis. Tak heran bila kemudian ada Google Earth. Kantor mereka pun dilengkapi dengan sauna, fitnes, kolam renang, biliar, dan koki terbaik yang khusus memasak makanan lezat untuk mereka; sebuah kantor yang tak lazim.


Sekarang ini Google sedang bersiap memasuki sebuah rencana ambisius baru, yang menggabungkan bidang biologi dan genetika, melalui peleburan ilmu pengetahuan, ilmu pengobatan, dan teknologi. Sudah barang tentu, hal itulah yang membuat pakar-pakar cerdas di muka bumi ini, seperti misalnya Dr. Kai-Fu Lee, lebih tertarik bekerja di Google ketimbang Microsoft. Meskipun, Kai-Fu harus berhadapan dengan gugatan hukum karena pilihannya itu.

***


Read More......

MENYELARASKAN SDM DENGAN STRATEGI BISNIS

Menyelaraskan SDM dengan Strategi Bisnis
Oleh : Neneng Goenadi
Re-publish : Zulfikar, ST






Apa yang sebenarnya diperlukan dalam upaya penyelarasan sumber daya manusia dengan strategi bisnis? Idealnya: transformasi sumber daya angkatan kerja. Istilah kerennya, HR Workforce Transformation: mentransformasi SDM menjadi profesional berkeahlian tinggi sehingga selaras dengan kebutuhan manajemen. Sebab, dengan hal tersebut, perusahaan dapat melakukan hal-hal berikut: pertama, meningkatkan dampak strategis SDM dalam mengembangkan kemampuan organisasi sekaligus mengurangi biaya yang berhubungan dengan tenaga kerja. Kedua, mengurangi biaya SDM melalui proses transaksi yang lebih efisien, memanfaatkan teknologi yang bersifat swalayan, dan memiliki pendukung yang bersifat sentral.

Ini bukan isapan jempol. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa transformasi SDM dapat memberi manfaat, antara lain: menurunkan biaya pengelolaan SDM sebesar 29%, menurunkan biaya rata-rata per transaksi SDM sebesar 60%, dan menurunkan biaya administrasi sebesar 20-25% melalui jasa swalayan pegawai dan manajer. Namun, yang perlu diperhatikan dalam transformasi SDM adalah memahami bahwa setiap karyawan memberi kontribusi berbeda untuk kinerja organisasi Di sini, proses kerja, perangkat teknologi dan program kerja yang sesuai akan membantu memaksimalisasi kontribusi mereka terhadap terciptanya kinerja tinggi.

Bagan di bawah ini menggambarkan proses dalam mentransformasi SDM.
Pertama, Manajemen K, mencakup kompensasi dan penghargaan, nilai dan pengukuran kinerja, evaluasi kerja dan bimbingan.
Kedua, Pengembangan Kinerja, yang berkaitan dengan keahlian serta kerangka kompetensi, manajemen pembelajaran dan manajemen pengetahuan.
Berikutnya, Manajemen Alur Kerja untuk merekrut dan menyeleksi angkatan kerja, pengembangan karier dan perencanaan peremajaan (suksesi), dan perencanaan penempatan. Semua itu akan dapat berjalan bila organisasi menerapkan strategi SDM yang menganut prinsip:
(1) menarik minat SDM berbakat;
(2) mengembangkan keahlian utama;
(3) secara berkelanjutan meningkatkan kinerja; dan
(4) mempertahankan sumber daya berkinerja tinggi.

Lantas, bagaimana implementasi seluruh unsur di atas?

Berikut adalah contoh implementasi transformasi SDM di sebuah industri pertambangan di Indonesia dalam upaya menyeraskan karyawannya dengan strategi bisnis perusahaan.

Tantangan Bisnis yang Dihadapi

Dalam era yang selalu diwarnai peningkatan harga sumber daya mineral, banyak perusahaan pertambangan yang ingin meningkatkan produktivitas operasional dan menurunkan biaya operasional. Sebuah perusahaan pertambangan skala global yang beroperasi di Indonesia menginginkan bantuan Accenture untuk menganalisis bagaimana menurunkan biaya operasional, terutama yang berkaitan dengan SDM. Tepatnya, melihat kesempatan menempatkan posisi angkatan kerja ke tingkat optimal dan menyelaraskan hubungan antara hal yang imperatif (alur kerja bisnis) dan permintaan SDM.

Salah satu elemen kunci dari usaha ini adalah melakukan studi optimalisasi sumber daya untuk mengidentifikasi sekaligus menyelaraskan kebutuhan sumber daya dengan strategi bisnis. Optimalisasi tersebut akan mengembangkan model SDM yang memperhitungkan jumlah pekerja yang tepat diperlukan dan melakukan benchmark dengan perusahaan tambang lainnya.

Program Apa yang Dilakukan?

Sebuah model SDM untuk implementasi dalam jangka lima tahun diadopsi perusahaan tambang tersebut. Model ini melihat pada operasional (di permukaan, bawah tanah dan proses produksi), jasa teknis (konstruksi, teknik, manajemen tailing), dan pendukung usaha (pengelolaan SDM, TI, rantai persediaan, keuangan dan akuntansi, hubungan eksternal, keselamatan, lingkungan dan kesehatan, serta keamanan), dan sekaligus menyiapkan peta perjalanan untuk mencapai tingkat angkatan kerja yang dibutuhkan.

Adapun penilaian yang dilakukan adalah untuk:
(1) menentukan dampak strategi bisnis dan operasional perusahaan terhadap penempatan tenaga kerja,
(2) bekerja sama dengan para eksekutif senior untuk menyetujui peta perjalanan tingkat tinggi untuk mendapatkan angkatan kerja yang optimal,
(3) menciptakan gambaran pekerja di lapangan, dan
(4) mengevaluasi dampak finansial dalam pendekatan gambaran angkatan kerja

Note : Dikutip dari Majalah SWA, edisi Kamis 28 Juni 2007,

Read More......

BERGURU TALENT KE NEGERI ORANG

Berguru Talent ke negeri Orang
Sumber : HR & Adiministration Coca Cola Indonesia Sandra Sahupala.
No. 33 - Desember 2006)
Re-Publish : Zulfikar ST



Sekitar 33 tahun lalu konsep Competency Based Human Resources Management (CBHRM) diperkenalkan pertama kali oleh Prof Dr David McClelland di Amerika Serikat. Konsep Management HR ini berkembang dan terus mendunia seolah tanpa pesaing, termasuk Indonesia. Namun kemunculan Talent Based Human resources Management (TBHRM) memberi angin baru bagi dunia HR. Silih berganti konsep ini diadopsi oleh perusahaan-perusahaan mumpuni di negeri seberang. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Benarkah di negeri ini konsep ini kalah popular dengan CHBRM ?

Beberapa bulan lalu, Pakar HR Pande Nyoman Agus Jaya, melalui sebuah seminar yang digelarnya di Jakarta menggagas perlunya perusahaan di Indonesia untuk tidak melulu menerapkan konsep Competency Based Human Resources Management (CBHRM) dalam mengembangkan sumber daya manusia yang dimiliki. Selain konsep CBHRM itu sudah dianggap ketinggalan zaman, Pande N Agus Jaya menganggap kegagalan yang dimunculkan dalam penerapan konsep itu cukup tinggi. “Hasilnya kalau boleh jujur saya sampaikan, 90% gagal,” terang Pande kepada Human Capital ketika itu. Untuk mendukung asumsinya itu, Pande pun menawarkan sebuah konsep baru, Talent Based Human Resources Management (TBHRM). Konsep yang fokus pada potential talent yang dimiliki setiap orang ini menurut Pande sudah diterapkannya sejak 20 tahun lalu. Sejak saat itu pula konsep ini terus tumbuh dan berkembang di negera asalnya menggusur konsep CBHRM yang telah lebih dulu mengglobal sejak diperkenalkan Prof Dr David McClelland 33 tahun lalu.

Sejumlah perusahaan multinasional yang mapan menerapkan konsep tersebut di antaranya, Citibank, Caltex, Unilever, Coca Cola, Standard Chartered, HSBC Bank, dan masih banyak lagi. Sedangkan di perusahaan-perusahaan lokal muncul nama PT Wijaya Karya, Bank Mandiri, Bank Central Asia, PT Lautan Luas Tbk. Meski begitu, konsep TBHRM ini belum digunakan bahkan dikenal secara luas di kalangan perusahaan lokal Indonesia.

MedcoEnergi misalnya, perusahaan minyak dan gas yang cukup besar ini baru melakukan transisi dari CBHRM menuju TBHRM. “Sekarang ini kita sedang transisi ke arah talent. Kita juga ingin mengalokasikan source kita ke arah yang lebih tepat. Artinya tidak produksi masal tapi produksi yang ekslusif lah. Dalam arti kita memang mengalokasikan sesuatu ketempat yang pas lah,” terang Manager of Human Capital Development MedcoEnergi Salmar Ngadikan.

Head of Human Resources Standard Chartered Irene Wuisan ketika ditemui di ruang kerjanya akhir bulan lalu juga mengakui soal ketidak populeran konsep TBHRM ini di kalangan perusahaan lokal Indonesia. “Dari artikel yang saya baca, perusahaan di luar negeri atau perusahaan asing yang ada di Indonesia rata-rata sudah menggunakan
konsep Talent Management tersebut dalam membina dan mengembangkan SDM nya supaya lebih berpotensi, tapi jarang terdengar untuk yang perusahaan local,” terangnya lagi.

Perusahaan-perusahaan itu menginvestasikan uang yang cukup banyak di dalam membina dan mengembangkan sumber daya manusianya. “Dan saya yakin di tahun-tahun mendatang di Asia akan lebih banyak lagi investasi yang ditanamkan untuk membina dan membangun SDM-nya dan Cina sedang bergerak ke arah sana” ucap Irene lagi.

Selain itu, Irene juga mengakui perusahaan tempatnya bekerja saat ini telah menerapkan konsep TBHRM ini sejak lama. “Begitu saya pindah ke sini (Standard Chartered-red), perusahaan ini telah menerapkan konsep ini, dan hasilnya efektif” terang Irene ketika ditemui di ruang kerjanya akhir bulan lalu.

Hanya saja, seputar efektifitas konsep tersebut Irene yang juga paham betul mengenai konsep CBHRM menyatakan tak jauh beda dengan bila menerapkan CBHRM. “Tinggal bagaimana kita mengelolanya karena ujung-ujungnya dua-duanya bagus tinggal bagaimana kita mengkombinasikannya saja, dan itu bisa berjalan dengan bagus dan tidak terputus-putus,” ungkap Irene lagi.

Sedangkan HR & Administration Director Coca Cola Indonesia Sandra Sahupala juga mengaku telah menerapkan konsep Talent Management di perusahaannya. “Perusahaan saya sudah menerapkan konsep ini, dan terus menyempurnakan program-program dan sistem pendukungnya,” terang Sandra yang ditemui seusai mengajar di salah satu hotel di bilangan Kemang Jakarta selatan. Menurut wanita bule ini, tujuan diterapkan nya konsep ini agar seluruh perusahaan bisa fokus dan optimal kepada sumber daya manusia yang merupakan talenta-talenta perusahaan.

“Secara konseptual pengelolaan SDM, konsep ini bertujuan untuk memaksimalkan pengembangan karyawan, mempersiapkan SDM/talenta yang kompeten di waktu yang akan datang, dan membuat talenta-talenta perusahaan tidak mudah meninggalkan perusahaan (retention strategy),” terang Sandra.

Perusahaan berbasis asing lainnya, PT Unilever Tbk, juga mengaku telah menggunakan konsep ini dalam mengembangkan sumber daya manusianya. Menurut Direktur Human Resources PT Unilever Indonesia Tbk Josef Bataona ketika ditemui Anung Prabowo dan Aditiyo Wirawan di ruang kerjanya pertengahan Nopember lalu, konsep Talent Management ini ia terapkan secara terpadu dengan konsep yang telah berkembang lebih dulu, Competency Based Human Resources Management. “Karena kompetensi itu adalah bagaimana kemampuan orang itu. Kemapuan itu dalam kaitan dengan bagaimana dia bisa melalakukan pekerjaan itu sendiri dalam kaitan dengan professional skill itu membuat konsep ini masih perlu untuk mendukung konsep Talent yang muncul belakangan,” terangnya.

Perusahaan lokalTidak populernya konsep TBHRM ini di perusahaan lokal Indonesia tentu menyisakan sejumlah pertanyaan, apakah konsep ini betul-betul mampu secara efektif membawa sebuah perusahaan ke sebuah lompatan yang lebih besar lagi atau memang tak mungkin menerapkan konsep ini di dalam kultur sebuah perusahaan local Indonesia. Beberapa praktisi dan pemerhati HR justru meyakinkan bahwa konsep Talent Management ini dapat diterapkan oleh organisasi manapun, tak peduli apakah itu lokal maupun asing. “Sejauh budaya organisasi tersebut didasari pada belief bahwa SDM merupakan aset perusahaan, sehingga pelatihan dan pengembangan merupakan suatu tindakan investasi, maka perusahaan atau organisasi apapun dapat saja menerapkan konsep ini, sejauh manajemennya mempunyai komitmen untuk mengadakan dan mempertahankan persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan” terang Sandra pasti.(Baca, Prasyarat Penerapan Konsep Talent Management) Hanya saja menurut Sandra lagi, banyak perusahaan mengatakan bahwa SDM bagi mereka sangat penting dan perusahaan itu telah menyediakan anggaran pelatihan yang besar. “Namun kebanyakan itu lip-service saja. Mereka mungkin tidak memahami apa yang harus dilakukan supaya “investasi” yang didedikasikan pada pengembangan SDM tidak sia-sia. Ataupun mereka memahaminya tetapi tidak serius menganggap SDM sebagai asset melainkan hanya sebagai sarana agar pekerjaan dikerjakan dan biasanya mempunyai visi yang sangat jangka pendek,” lanjut Sandra.

Irene Wuisan pun beranggapan sama, menurutnya perusahaan lokal pun bisa menerapkan konsep ini. “Asalkan perusahaan tersebut memiliki 3 unsur,” ujar Irene. Ketiga unsur yang dimaksud, infrastrutur yg cukup kuat, komitmen dari manajer untuk memakai metode ini, serta sumber daya manusia yang bisa diandalkan. “Bila itu dimiliki maka perusahaan itu dapat dengan mudah mengadopsi konsep tersebut,” tambah Irene.

Sementara itu, Managing Director Multi Talent Indonesia Irwan Rei menyatakan kalau penerapan konsep Talent Management ini tidak dipengaruhi oleh apakah perusahaan xyz itu lokal atau asing. “Semua organisasi yang memerlukan manusia untuk mencapai tujuan-tujuan bisnisnya pasti memerlukan sistem dan proses untuk menarik dan me-ngelola SDM-SDM pilihannya,” paparnya. Masih menurut Irwan, perbedaan antar organisasi satu dengan yang lain terletak pada tingkat sophistication-nya. Organisasi yang satu mungkin banyak tergantung pada feeling atau perasaan pemimpin di dalam mengelola sdm-sdm di dalamnya, sementara organisasi yang lain telah memiliki sistem atau SOP yang rapi dan didukung oleh studi yang lengkap mengenai kompetensi pegawai yang diperlukan, pola pergerakan pengembangan karir yang dibangun berdasarkan kriteria dan proses yang jelas, sistem dan program SDM yang dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempe-ngaruhi kepuasan, motivasi maupun tingkat engagement pegawai. Sehingga untuk bisa menerapkan konsep tersebut, yang perlu dilakukan pertama-kali oleh perusahaan itu menurut Irwan adalah dengan melihat bahwa ada dua pihak yang terlibat di sana. “Di satu sisi ada perusahaan (shareholders) yang memiliki visi, misi, tujuan organisasi, strategi bisnis maupun resources (finansial maupun non-finansial) yang terbatas, dan di sisi lain adalah SDM-SDM yang diharapkan dapat bergabung dan membantu organisasi mencapai tujuan-tujuannya,”ungkap Irwan.

Organisasi perlu tahu persis apa yang ingin dicapai? Bagaimana strategi mencapainya? Organization capabilities apakah yang diperlakukan? Kompetensi apakah yang diperlukan? Bagaimana dan dimana mendapatkan SDM-SDM dengan kompetensi yang diinginkan tadi? Apa yang menjadi faktor-faktor utama (drivers) yang mempengaruhi motivasi mereka dalam bekerja?

“Jawaban-jawaban akan pertanyaan ini akan membantu organisasi membangun sistem dan program SDM, mulai dari proses recruitment, staffing, career development & training, performance management, sampai employee separation, yang sesuai,”lanjutnya.

Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Beragamnya penjabaran konsep Talent Management ini menjadikan konsep ini kian istimewa. “Kita bisa datang dengan label, istilah dan ruang-lingkup yang berbeda-beda mengenai konsep “talent management”, namun pengelolaan SDM atau “managing talent” sebenarnya sudah lama dilakukan oleh demikian banyak organisasi dengan tingkat kecanggihan sistem dan program SDM pendukung yang berbeda-beda,” urai Irwan Rei.

Gaungnya menurut Irwan semakin terdengar seiring dengan persaingan bisnis yang semakin tinggi dan yang lalu mendorong organisasi untuk semakin serius di dalam menarik dan mengelola SDM-SDM pilihannya. Berbeda dengan misalnya konsep Balanced Scorecard dimana ada Kaplan dan Norton sebagai pencetus idenya, tapi tidak mudah untuk menunjuk siapa yang melakukannya untuk konsep talent management.

“Karena demikian banyak pihak, termasuk konsultan-konsultan besar di dunia mempopulerkan istilah ini. Meski label atau istilah yang digunakan sama, perbedaan umumnya didapatkan pada ruang lingkup (scope), proses maupun istilah-istilah pendukung yang digunakan, walau kalau dicermati lebih-dalam, semuanya fokus untuk menjawab tantangan bagaimana organisasi dapat “mengelola talent” dengan baik sehingga tujuan-tujuan mereka dapat tercapai,”terangnya lagi.

Irene Wuisan pun mengakui banyaknya penafsiran terhadapkonsep itu. “Kalau kita lihat dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain, itu banyak sekali definisi-definisi yang berbeda-beda, jadi kembali tergantung kepada perusahaannya itu sendiri,” ujar Irene.

Hanya saja Irene mengaku banyak melihat pergeseran pendekatan dalam menerapkan konsep Human Resources Management yang ada. Kalau dulu kata Irene, orang-orang itu harus disesuaikan dengan pekerjaannya, ini menjadi focus dari konsep CBHRM, sekarang mulai bergeser.

“Sekarang mulai megarah kepada karyawannya sendiri, karyawannya punya keahlian apa sih, karyawannya ini kelebihan-nya ada dimana, dan itulah yang ditumbuhkan, dibina dan diangkat supaya karyawan ini potensinya bisa lebih tergali, itulah yang dibilang memanage talent, jadi talent itu disini lebih kepada si karyawannya sendiri,” terang Irene memaparkan konsep Talent Managementnya.

Dengan menerapkan konsep Talent Management, Irwan melihat sebagai sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi untuk menjawab tantangan yang ada. Dalam lingkup yang luas, bagi Irwan managing talent tidak hanya berbicara mengenai pengembangan karir pegawai, namun bagaimana organisasi dapat menarik dan mengelola SDM-SDM pilihannya, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. “Ini berarti mulai dari proses rekrutmen, penempatan pegawai, penilaian kinerja, pelatihan dan pengembangan karir, sampai pegawai meninggalkan perusahaan di arahkan untuk menjawab tujuan tersebut”, lanjutnya.

Dan itu menurut Irwan bukan masalah yang sederhana, karena untuk melakukan itu, organisasi perlu mengetahui apa yang membuat SDM-SDM yang handal ini tertarik untuk bergabung dan bekerja dengan baik di dalam organisasi dan menyeimbangkannya dengan apa yang ingin dicapai oleh organisasi. “Ada dua pihak yang terlibat di sana: pegawai dan perusahaan, masing-masing dengan kebutuhan yang tidak selalu sama, sehingga perlu dicari titik temunya. Perusahaan memiliki visi dan misi, strategi untuk mencapainya, maupun organization capabilities yang perlu dibangun, sementara pegawai memiliki kebutuhan akan pengembangan karir, reward & recognition, maupun lingkungan kerja yang menyenangkan,”tutup Irwan. • (ich)

Prasyarat Penerapan Konsep Talent Based Human Resources Management

Untuk dapat menerapkan konsep itu secara konsisten dan dapat memberi manfaat yang berarti dalam pengelolaan perusahaan. Maka perusahaan tersebut harus memenuhi beberapa prasyarat:
  1. Manajemen telah menetapkan kriteria-kriteria dari talenta-talenta kunci, dan menerapkan proses seleksi dan assesmen periodik talenta-talenta kunci yang ketat berdasarkan kriteria-kriteria tersebut.
  2. Manajemen mempunyai suatu sistem penempatan talenta-talenta kunci yang baik. Biasanya talenta-talenta kunci menempati posisi pekerjaan yang penting (critical job positions), dan senantiasa diberikan tugas-tugas atau proyek-proyek yang penuh tantangan.
  3. Terdapat Sistem Pengelolaan Kinerja (Performance Management System) yang baik dan adil. Tanpa adanya sistem pengelolaan kinerja yang baik dan adil, penilaian kinerja dan prestasi karyawan akan didasari pada “Like and Dislike”.
  4. Terdapat suatu keadaan kesempatan yang sama (Equal Opportunities) dan pelakuan adil yang didasari pada assesmen yang faktual.
  5. Agar c dan d dapat dipenuhi maka hal ini sejogyanya didukung dengan suatu kebijakan SDM (human resources policies) dan alat dan sistem penilaian kinerja (performance appraisal system and tools) yang secara konsisten diterapkan. Artinya tidak terdapat perlakuan yang khusus bagi orang-orang tertentu.
  6. Manajemen menerapkan suatu sistem pengakuan dan penghargaan yang bersaing. Bukan hanya sistem kompensasi finansial yang baik, tetapi juga program pengakuan dan penghargaan yang non-finansial.



Read More......